Aku Seorang Pemakan Riba dan Aku Tidak Sendirian


Abstrak

Berisi mengenai dinamika religi pada fase nalar tertentu, sehingga bisa menjadi persoalan tersendiri, dan bahkan bisa menjadi perang bathin, hingga perang adu mulut tiada berujung, akibat dari perselisihan yang tanpa disadari bahwasanya hanya karena salah kaprah.

Pemakan Bunga Riba
Pemakan bunga riba berbunga-bunga

RIBA

Secara bahasa bermakna ziyadah atau tambahan, terdapat beberapa pendapat dalam penjelasan mengenai perihal riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba merupakan suatu pengambilan tambahan dalam transaksi jual-beli dan hutang-piutang.

Perkara riba bukan hanya menjadi persoalan dalam agama Islam dan pada era peradaban bangsa Arab saja, jika dirunut lebih jauh lagi ke belakang, perkara riba juga menjadi persoalan agama Yahudi dan Kristen, serta pada era peradaban bangsa Romawi dan Yunani.

Bahkan dari masa ke masa, perkara riba menjadi bias dan puncaknya berada diambang batas tolerir pada fase statistik tertentu yang terkadang tiada menentu (pemahamannya)

Riba dalam Yahudi

Dalam agama Yahudi pemberlakuan riba hanya dilarang pada umat, kaum atau sesama pemeluk agama Yahudi yang merupakan kesatuan persaudaraan, namun pemberlakuan riba diperbolehkan hanya kepada orang lain yang bukan termasuk golongan umat atau kaum seagamanya.

Riba dalam Kristen

Berbagai pandangan pada kalangan pemuka agama Kristen terdahulu diakui terbagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu;
  1. Abad I - XII
  2. Abad XII - XVI
  3. Abad XVI - XVIII

  • Abad I - XII

Pada awal abad I hingga pertengahan abad XII para pemuka agama Kristen melarang keras semua jenis riba.

  • Abad XII - XVI

Pada pertengahan abad XII hingga pertengahan abad XVI para sarjana Kristen berpandangan serta berkeinginan untuk memperbolehkan riba, dikarenakan terjadinya perkembangan pesat pertumbuhan ekonomi perdagangan.

  • Abad XVI - XVIII

Pada pertengahan abad XVI hingga abad XVIII tepatnya pada tahun 1836 para reformis Protestan memperbolehkan riba, sama persis dengan kebijakan agama Yahudi, yaitu;

Pemberlakuan riba diperbolehkan hanya kepada orang lain yang bukan termasuk golongan umat atau kaum seagamanya.

Riba dalam Islam

Dalam agama Islam riba terbagi menjadi 2 (dua) jenis transaksi, yaitu;
  1. Riba jual-beli
  2. Riba hutang-piutang

  • Riba Jual-Beli

Terbagi menjadi 2 (dua), yaitu;
  1. Riba fadhl
  2. Riba nasi'ah

    • Riba Fadhl
Merupakan suatu pertukaran antar-barang dan sejenisnya dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut merupakan barang riba.

    • Riba Nasi'ah

Merupakan suatu penangguhan penyerahan atau penerimaan barang riba yang dipertukarkan dengan barang riba lainnya, terjadinya riba nasi'ah dikarenakan adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang akan diserahkan pada suatu saat kemudian, nanti, atau selanjutnya.

  • Riba Hutang - Piutang

Terbagi menjadi 2 (dua), yaitu;
  1. Riba qardh
  2. Riba jahiliyyah

    • Riba Qardh

Merupakan suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan kepada muqtaridh, atau kreditur.

    • Riba Jahiliyyah

Merupakan suatu hutang yang dibayar lebih dari pokok, karena muqtaridh tidak mampu membayar hutang tepat pada waktunya (tanggal jatuh tempo)

Hukum Riba dalam Islam

Terdapat banyak hukum yang menjelaskan perkara riba, mulai dari Firman hingga Hadist, dan mulai dari Hadist yang shahih hingga Hadist yang masih dipelajari keshahihannya.

Di-sini saya tidak bermaksud untuk menjabarkan semua Firman dan Hadist mengenai riba, namun ada 1 (satu) Hadist yang telah menyita perhatian saya, kendati demikian sengaja tidak saya perjelas bahwasanya ini merupakan Hadist Riwayatnya siapa, karena saya hanya ingin berfokus pada makna dari Hadistnya saja, Hadist tersebut berbunyi;

Rasulullah SAW bersabda;
"Riba itu ada 73 pintu (dosa), yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai Ibu kandungnya sendiri, sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya"

Mohon izinkan saya untuk membedah Hadist ini.
  • Pertama;
Terdapat 3 (tiga) versi berbeda mengenai jumlah pintu dosa pada riba, ada yang menyebutkan jumlahnya sebanyak 70, 72, dan 73 (masing-masing dari Hadist Riwayat yang berbeda)

  • Kedua;
Kata "menzinai" pada isi Hadist;
"Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai Ibu kandungnya sendiri"

"Menzinai" asal kata dari zina, bermakna;

Suatu kegiatan yang secara aktif dilakukan oleh minimal 2 (dua) orang atas dasar kemauan masing-masing.

Zina berarti bukan Perkosa, karena perkosa merupakan suatu perlakuan seseorang atau lebih, dengan pelaku aktif, dan korban berlaku pasif, bahkan berontak menentang.

Yang saya fahami adalah, 2 (dua) orang yang berzina maka dua-duanya berdosa.

Pertanyaannya..?

Apakah seorang Ibu turut mendapat semisal dosa zina hanya karena si-anak kandungnya melakukan perbuatan riba..?

Sedangkan si-Ibu kandung tersebut tidak menikmati hasil riba anaknya.

Jika iya, maka beruntunglah seorang perempuan yang tiada memiliki anak, karena dirinya sudah pasti terhindar dari semisal dosa zina hasil perbuatan riba anaknya.

Lalu bagaimana jika si-pelaku riba adalah anak perempuan..?

Apakah si-Ibu kandung juga mendapatkan semisal dosa zina sebagai pelaku lesbian..?

  • Ketiga;
Kata "melanggar kehormatan" dan kata "apabila" pada isi Hadist;
"Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya"

Entah mengapa saya pribadi justeru malah merasa dosa ini lebih ringan, sedangkan perbuatannya merupakan riba yang paling besar.

Bukankah ada dalam Hadist lain yang menggambarkan keutamaan sosok seorang Ibu, bahkan 3 (tiga) kali lebih dihormati daripada sosok seorang Bapak..?

Lalu bagaimana mungkin sosok seorang Ibu kandung bisa dianggap lebih rendah dari sosok seorang Saudara pada perumpamaan dosa riba pada Hadist ini..?

"Melanggar kehormatan" meski ambigu, namun saya pribadi berasumsi bahwa makna dari kata tersebut adalah muradif dari kata pemerkosaan, karena menyambung dari isi pernyataan sebelumnya yang merupakan unsur sanggama.

Seperti yang telah saya jabarkan di-atas bahwasanya pemerkosaan merupakan suatu perlakuan seseorang atau lebih, dengan pelaku aktif, dan korban berlaku pasif, bahkan berontak menentang, itu berarti saudara yang menjadi korban pemerkosaan tidak mendapatkan dosa, karena bukan kehendaknya, maka pada dosa riba yang paling besar ini adalah yang mendapatkan dosa hanya si-pelaku riba saja.

Lalu apa makna dari kata "apabila" ?

Mengapa tidak menggunakan kata "semisal" juga..?

Apakah kata "apabila" merupakan suatu kebalikan pernyataan..?

Jika iya, maka akan jadi berbunyi seperti ini;
"Apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya, maka itu riba yang paling besar"

Alhasil menjadi sangat rancu. أستغفر الله العظيم

PERNYATAAN

Mohon maaf saya tidak bermaksud untuk memutar-balikkan Hadist, apalagi mempermainkannya, saya hanya sedang mencari penjabaran yang lebih akurat dan terperinci, maka sudi-kiranya untuk siapa saja yang membaca tulisan saya ini, supaya mau memberikan komentar yang bermanfaat bagi kita semua, guna meluruskan persepsi pada Hadist ini.

Saya menyadari bahwa saya hanyalah makhluk berdosa, dan bahkan saya menyakini bahwa pada era millenial ini terbilang pasti sekitar 90% manusia di-bumi ini (meski tanpa bukti berupa data statistik yang pasti) adalah pemakan riba, termasuk saya, dan saya akui tanpa kemunafikan.

Akhir qalam, silahkan isi pada kolom komentar ya guys, diharapkan sebisa mungkin isi komentar berdasarkan data faktual hasil dari case study, khususnya perkara riba yang berpautan dengan Hadist di-atas, شكرا جزيلا

Baca juga; Mathemagic gimmick (bukan Sulap bukan Sihir)

loading...

Komentar

Popular

Mathemagic gimmick (bukan Sulap bukan Sihir)

SI-ADI DEMEN BABI (empiris)

Waktu Terbaik Promosi Bisnis Pada 4 Media Sosial

6 Bisnis Ciamik saat Pandemic

Kerja Keras + Cerdas + Tuntas + ikhlas = SUKSES

Model Modal (3M) Modol

3 kemungkinan penyebab nomor diblokir WhatsApp

5 aplikasi Soksial Media saat Social Distancing